Tari Gandrung, Simbolisasi Budaya Masyarakat Sasak di Lombok
Tari Gandrung
1.
Asal-usul
Tari Gandrung merupakan sebuah tarian yang kini
berkembang di tiga daerah, yaitu Banyuwangi, Bali, dan Lombok. Meskipun
memiliki kemiripan, Tari Gandrung ketiga daerah ini memiliki ciri khas
tersendiri yang tidak dimiliki di daerah yang lain. Demikian pula dengan yang
terjadi pada Tari Gandrung yang ada di Lombok. Meskipun Lombok dan Bali
memiliki kemiripan budaya, tetapi Tari Gandrung di Lombok memiliki ciri khas
tersendiri yang berbeda dengan Tari Gandrung yang ada di Bali. Inilah ciri
khas dari Lombok yang tidak dimiliki di Pulau Bali. ”Lombok sering
digambarkan oleh orang luar sebagai versi kecil Bali. Tetapi
penduduk Lombok sendiri akan mengatakan bahwa, `Anda akan melihat
Bali di Lombok, tetapi tidak akan melihat Lombok di Bali`.” (Sepora Nawadi,
1995:14). Tulisan berikut ini secara khusus akan berbicara tentang Tari
Gandrung yang berada di Lombok, Nusa Tenggara Barat beserta unsur simbolis
yang tersaji dalam sebuah pertunjukkan Tari Gandrung.
Gandrung dalam pemahaman masyarakat Lombok,
khususnya masyarakat Sasak adalah nama sebuah pertunjukan yang dilakukan
seorang penari wanita yang diiringi seperangkat gamelan (sabarungandalam
istilah suku Sasak), puisi, dan nyanyian (dalam bahasa suku Sasak disebut lelakaq,
sandaran) (R. Diyah Larasati, 1996:16). Pertunjukan Gandrung ini dilakukan
dalam perayaan desa setelah masa panen padi. Gandrung menunjukkan suka cita dan
harapan bersama masyarakat Sasak. Gandrung sekaligus juga merupakan ekspresi
simbolis masyarakat Sasak di Lombok (R. Diyah Larasati, 1996:16).
Ekspresi simbolis lewat Gandrung bagi masyarakat Sasak
diwujudkan melalui dunia makna yang secara signifikan berada dalam sistem
ideasional yang juga terefleksikan dalam interaksi sosial. Ditambah lagi adanya
artefak yang melegitimasi keberadaan pertunjukan itu di tengah-tengah para
penikmatnya (R. Diyah Larasati, 1996:17). Menurut R. Diyah Larasati, sistem
ideasional yang dimaksud adalah konteks berfikir serta gagasan-gagasan para
pelaku pertunjukan Gandrung. Dalam perspektif ini, Gandrung dipakai sebagai
media untuk melepaskan harapan dan suka cita. Alam yang terefleksi melalui
harapan akan melimpahnya panen padi, berusaha untuk dapat dikuasai dengan
sebuah keharmonisasian melalui ungkapan suka cita dalam seni pertunjukan ini.
Dalam pemikiran ini, alam dan manusia sebagai elemen kebudayaan mampu membentuk
suatu harmoni (R. Diyah Larasati, 1996:17).
Dilihat dari asal-usul, Tari Gandrung yang terdapat di
Lombok kemungkinan bukan berasal dari kebudayaan
asli Lombok (masyarakat Sasak). Hal ini bisa dilihat dari adanya Tari
Gandrung yang juga terdapat di beberapa daerah lainnya, misalnya saja di
Banyuwangi dan Bali. Beberapa budayawan atau peneliti akhirnya mencoba
menelusuri dan menafsirkan asal-usul Tari Gandrung sehingga menjadi sebuah
kebudayaan yang cukup sakral bagi masyarakat Sasak di Lombok.
Seperti tertulis dalam Tari Gandrung
Lombok (1993/1994), I Wayan Kartawirya menyatakan bahwa Tari Gandrung
berasal dari Banyuwangi, kemudian menyebar lewat Bali dan akhirnya sampai
di Lombok. Alasannya didasarkan pada Indische Staatsbald, Nomor:
123 tahun 1852 yang mengatur tentang Pemerintahan Hindia Belanda. Dalam Staatsblad tersebut
disebutkan bahwa Pulau Lombok, termasuk ke dalam Keresidenan Bali
dan Lombok dengan ibukota mula-mula Banyuwangi, kemudian pindah ke
Singaraja di Bali. Asal-usul Tari Gandrung di Lombok juga terdapat dalam
buku Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat Jilid I (1977:133).
Di dalam buku tersebut dituliskan bahwa Tari Gandrung berasal dari Banyuwangi
(Jawa Timur) kemudian berkembang di Lombok melalui Bali, pada masa Bali dan
Lombok Barat (Karangasem) merupakan kesatuan daerah kultural. Dari pendapat
ini jelas tergambar bahwa Tari Gandrung mulai masuk dan berkembang
di Lombok sebelum Kerajaan Lombok (Karangasem) terakhir jatuh pada
1894. Pendapat berikutnya datang dari David Harnish dalam Thesisnya yang
berjudulMusical Traditions of the Lombok Balinese (1985:105).
Disebutkan dalam tulisan beliau bahwa bentuk Tari Gandrung di Lombok
diperkirakan sebagai suatu adaptasi dari model Banyuwangi yang berkembang
lewat Bali. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya di Lombok, Tari
Gandrung ini menyerap pula bentuk-bentuk atau karakter lokal (Sri Yaningsih
et.al., 1993/1994:14-15).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan
bahwa Tari Gandrung yang ada di Lombokawalnya berasal dari Banyuwangi,
Jawa Timur. Sejak kapan dan bagaimana sehingga Tari Gandrung bisa masuk
ke Lombok, secara spesifik belum diketahui secara pasti. Hanya saja terdapat
beberapa pendapat yang bisa dijadikan keterangan tentang kapan Tari Gandrung
tersebut masuk ke Lombok. Misalnya saja pendapat dari I Wayan Kartawirya
yang mendasarkan pendapatnya dari Indische Staatsbald, Nomor:
123 tahun 1852. Dari pendapat ini setidaknya terdapat sedikit keterangan bahwa
Tari Gandrung telah masuk ke Lombok setelah tahun 1852. Ukuran waktu
juga dapat dilihat dari pendapat yang tertulis dalam buku Monografi
Daerah Nusa Tenggara Barat Jilid I (1977). Pendapat yang mendasarkan
tentang kesatuan kultural yang terjadi antara Bali dan Lombok Barat
(Karangasem), menyisakan sedikit keterangan bahwa peristiwa kesatuan kultural
tersebut terjadi sebelum Kerajaan Lombok (Karangasem) terakhir jatuh pada 1894.
Agak berbeda dengan dua pendapat di atas, I Wayan Kartawirya berpendapat bahwa
Tari Gandrung mulai masuk ke Lombok seiring dengan diangkatnya I Gusti Putu
Geria sebagai Pepatih untuk mengepalai orang-orang suku Bali di Lombok sebagai
pengganti kedudukan raja Lombok (Raja Agung Ngurah) yang ditaklukan oleh
Belanda pada 18 November 1894 (Sri Yaningsih et.al., 1993/1994:13). Pada waktu
I Gusti Putu Geria ini memerintah, beliau sempat mendatangkan rombongan
kesenian dari Bali Utara (Singaraja) ke Mataram. Di antara rombongan kesenian tersebut, salah satunya
adalah Tari Gandrung. I Wayan Kartawirya tidak menyebutkan secara pasti kapan
peristiwa itu terjadi. Beliau hanya memperkirakan bahwa kejadian itu
berlangsung antara 1907-1910. Menurut beliau, sejak I Gusti Putu Geria
mengundang rombongan kesenian dari Bali Utara ini, maka mulai berdatanganlah
berbagai jenis tari lainnya dari Bali Utara ke Lombok (Sri Yaningsih et.al.,
1993/1994:13-14). Dari ketiga pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
kemungkinan, Tari Gandrung mulai masuk ke Lombok setelah tahun 1852
sampai 1910. Setelah tahun 1910 Tari Gandrung telah berkembang di Lombok.
Jadi kemungkinan terdapat interval 58 tahun proses masuknya Tari Gandrung ke Lombok.
2. Penyebaran
dan Perkembangan Tari Gandrung di Lombok
Penyebaran dan perkembangan Tari Gandrung dipengaruhi
pula oleh akulturasi budaya, khususnya antara kebudayaan Bali dan Lombok.
Faktor yang memungkinkan terjadinya akulturasi antara lain karena semakin terbukanya
sistem kekerabatan masyarakat Sasak dalam menerima anggota keluarga dari etnis
lain dan semakin banyaknya terjadi mobilitas penduduk (R. Diyah Larasati,
1996:15). Faktor ini bertambah dengan adanya hubungan yang erat antara penduduk
Lombok, khususnya masyarakat Sasak dengan penduduk di Bali, Nusa Tenggara
Timur, dan Sulawesi, khususnya Sulawesi
Selatan. Dalam praktek keseharian, orang-orang yang tinggal
di Lombok Barat mempunyai hubungan kekeluargaan yang erat dengan
orang-orang yang bermukim di Bali, khususnya Bali bagian Timur.
Kekeluargaan inilah yang kini dikenal dengan istilah “sidikara” (Ahmad Amin et.al.,
1977/1978:22). Melalui ikatan kekeluargaan yang erat inilah, maka tidak jarang
beberapa unsur kebudayaan turut serta terbawa, misalnya dalam bentuk bahasa,
kesenian, dan kerajinan.
Dari sini dapat dilihat bahwa metode penyebaran Tari
Gandrung dimungkinkan terjadi karena adanya ikatan kekeluargaan yang kuat
antara masyarakat Sasak dan Bali. Ikatan kekeluargaan ini yang kemudian
memungkinkan terjadinya proses akulturasi. Jika dilihat dari asal-usul masuknya
Tari Gandrung ke Lombok, maka hanya pendapat dari I Wayan Kartawirya yang
secara langsung menunjukkan tentang siapa orang yang berjasa di balik
terjadinya akulturasi sehingga membawa kebudayaan Tari Gandrung ke Lombok.
Dalam perspektif ini orang yang berjasa untuk memperkenalkan Tari Gandrung ke
Lombok adalah I Putu Geria sewaktu beliau menjabat sebagai Pepatih di Mataram
(Lombok). Bagai gayung bersambut, inisiatif dari I Putu Geria mendapat dukungan
dari seorang kaya raya di Cakranegara, Mataram, bernama I Gde Ketur (Sri
Yaningsih et.al., 1993/1994:14).
I Gde Ketur merupakan seorang hartawan yang sangat
menyukai Tari Gandrung. Kesenangan beliau diwujudkan dengan mendukung
perkembangan Tari Gandrung di Lombok dengan menyediakan gamelan dan rumahnya
sebagai tempat latihan bagi para penari Gandrung. I Gde Ketur ini pula yang
kemudian mengubah tradisi Tari Gandrung yang semula dimainkan oleh penari pria,
kemudian diubah menjadi dimainkan oleh penari wanita (Sri Yaningsih et.al.,
1993/1994:16). Pada awalnya proses pengubahan ini mengalami sejumlah kendala. Salah
satunya adalah sulitnya mencari penari wanita yang berasal dari Bali.
Kesulitan ini kemudian berhasil diatasi dengan cara menggantikan penari
Gandrung yang berasal dari Bali dengan menjadikan seorang wanita dari
suku Sasak bernama Tinggen untuk menjadi penari Gandrung wanita (Sri Yaningsih
et.al., 1993/1994:16). Mulai dari sinilah terjadi perubahan ciri Tari Gandrung
dibandingkan dengan daerah asalnya, baik Banyuwangi maupun Bali. Perubahan
tersebut meliputi penari, yaitu pergantian antara penari pria yang digantikan
dengan wanita. Kedua, penari tidak lagi berasal dari Bali melainkan
dari suku Sasak. Perubahan ini menimbulkan ciri khas tersendiri dari Tari
Gandrung Lombok yang mulai mendapat pengaruh dari masyarakat Sasak.
Di Lombok sendiri penyebaran Tari Gandrung tercatat di
beberapa tempat, seperti di Suweta, Bertais, Batuaya, Narmada, kemudian ke arah
Lombok bagian Timur seperti Sukadana, Kilang, Suradadi, Kutaraja, Lendang
Nangka, Sukarara, sebagian Mantang, Rarang, dan sebagian Sakra (Sri Yaningsih
et.al., 1993/1994:16-21). Seperti ditulis dalam buku Tari Gandrung
Lombok (1993/1994), lewat penyebaran ini kemudian timbul
organisasi-organisasi dan berbagai tokoh kebudayaan tari yang berusaha
melestarikan eksistensi Tari Gandrung di Lombok. Organisasi-organisasi dan para
tokoh tersebut misalnya Organisasi “Panti Karya Tari” pada 1963 di Batuaya yang
dipimpin oleh I Dewa Kompyang dengan penari utama seorang wanita Bali bernama
Ni Tengah Tengkuk. Organisasi ini kemudian bersulih nama menjadi “Sad Guna Gita”
pada 1971; Amaq Banun seorang penari pria yang bernama asli Ratnadi yang aktif
di Dasan Tereng, Kecamatan Narada (meninggal pada 1957); Inaq Bilin, seorang
penari wanita dari suku Sasak yang merupakan keponakan dari Amaq Banun; Sahari,
ketua dari Organisasi Gandrung “Sekar Wangi” di Dasan Tereng, Kecamatan Narada;
Organisasi “Dana Bakti” di Dasan Palung, Desa Suwangi, Kecamatan Sakra, yang
dipimpin oleh Amaq Sinalam dengan penari Gandrung wanita bernama Inaq Semi,
istri dari Amaq Sinalam; Dane Rahil, seorang tokoh Tari Gandrung yang berasal
dari Desa Lenek, Kecamatan Aikmel, Kabupaten Lombok Timur (Sri Yaningsih et.al., 1993/1994:16-22). Dari
penyebaran Tari Gandrung ini pula akhirnya dikenal berbagai “aliran” dalam Tari
Gandrung, seperti Gandrung Bertais dari daerah Bertais; kemudian di Dasan
Tereng yang masih mempertahankan keaslian tradisi Tari Gandrung dengan bagian
yang dinamakan Tangis(semacam intro sebelum Bapangan,
dibawakan sambil menari dan menyanyi), dan Rereng Manis(merupakan
bagian dari Bapangan yang dibawakan dengan cara duduk sambil
menari dan menyanyi (Sri Yaningsih et.al., 1993/1994:16-18). Bapangan adalah
sebuah babak dalam Tari Gandrung di mana penari memperkenalkan diri kepada para
penonton
Penyebaran dan perkembangan Tari
Gandrung di Lombok kini dinilai telah mulai mengalami pergeseran. Maraknya
dunia hiburan di abad ke-20 menjadikan terjadinya pergeseran makna yang mulai
menepiskan esensi sebuah ritus (R. Diyah Larasati, 1996:21). Dari sinilah mulai
bermunculan kelompok-kelompok di luar dunia tradisi yang mengambil Tari
Gandrung sebagai indentitasnya. Kini Tari Gandrung tidak semata-mata dilakukan
sebagai ucapan syukur maupun harapan yang diwujudkan dengan beragam makna
simbolisasi. Tari Gandrung telah mengalami beberapa pergeseran bentuk, seperti
tidak harus dimainkan setelah panen saja, tetapi dimainkan pula dalam berbagai
acara. Penari
wanita sebagai sentral Tari Gandrung menjadi penarik kaum Adam untuk maju ke
gelanggang danmengibing bersama. Acara kesakralan kini telah
bergeser menjadi sekadar hiburan. Di sinilah mulai tergambar pendapat Bakker,
“Perkembangan perikehidupan seni menunjukkan aspek lain lagi pada pergulatan
antara tradisi dan inovasi” (Bakker, J.W.M., 1979:23).
Inovasi terkadang memang meminggirkan tradisi. Berbagai tuntutan dan kepentingan yang harus terpenuhi, tampaknya menjadikan
sisi tradisi menempati urutan nomor dua. Hiburan, kebutuhan dapur bagi para penari, dan dalih
pelestarian kebudayaan, ternyata menjadikan Tari Gandrung yang kini banyak
ditampilkan di Lombok mulai keluar dari pakem yang telah
digariskan. Inovasi memang membawa
konsekuensi, dalam hal ini terjadi pergeseran
tradisi.
3.
Peralatan dan Pemain
A.
Peralatan
Peralatan dalam Tari Gandrung disebut dengan gamelan.
Ragam gamelan yang dimainkan dalam Tari Gandrung ternyata telah mengalami
perubahan dari masa ke masa. Pada saat sekarang Tari Gandrung dimainkan dengan
Gamelan Oncer. Sebelum dimainkan dengan Gamelan Oncer, pertunjukan Tari
Gandrung diiringi dengan Gamelan Tawaq-Tawaq (Sri Yaningsih et.al.,
1993/1994:20). Harnis, David (1998:130-131) dalam Tari Gandrung
Lombok (1993/1994), membuat semacam periodisasi hasil penelitian
tentang gamelan di Lombok, yaitu:
1. Periode I, awal tahun 1700
Gamelan yang termasuk ke dalam periode ini adalah
Gamelan Oncer, Gamelan Tawaq-tawaq, Gamelan Barong Tengkong, Gamelan Grantang,
dan ensambel Gamelan Wayang .
2. Periode II yang disebut dengan Periode atau Masa
Pertengahan antara tahun 1700-1900
Gamelan yang termasuk ke dalam periode ini adalah
Gamelan Pereret, Gamelan Kamput, Gamelan Rebana, dan Gamelan Klentang.
3. Periode III yang disebut Periode atau Masa Modern,
yaitu sesudah tahun 1900
Gamelan yang termasuk ke dalam periode ini adalah
Kecimol, Silokan, Gamelan Gong Sasak, dan Burdah (Sri Yaningsih et.al.,
1993/1994:20-21).
Dari kiri ke kanan: Barungan Gamelan Gandrung Desa Dasan Tereng, Barungan Gamelan Gandrung Desa Lenek (memakai cungklik dan suling belo), dan Barungan Gamelan Gandrung Desa Suwangi
Pada dasarnya dalam mengiringi Tari Gandrung, ensambel
tradisional yang utama adalah Gamelan Oncer. Akan tetapi pada perkembangannya
terjadi perubahan ensambel pengiring Tari Gandrung. Sebagaimana ditulis dalam
buku Tari Gandrung Lombok (1993/1994),
“Peralatan/ensambel gamelan yang dipakai sekarang
adalah pemugih, saron, kantil, calung, jegogan, suling biasa, pereret, dan rincik.
Sedang peralatan yang dipakai dulu adalah ensambel gamelan yang terdiri
dari, cungklik (dengan dilengkapi alat musik gesek yang
disebut redep atau rebab), gender/calung, gong, gendang, petuk, rincik, pereret, suling biasa,dan ketipuk”
(Sri Yaningsih et.al., 1993/1994: 21).
Dari
uraian di atas, dapat diketahui bahwa perubahan gamelan pengiring dalam Tari
Gandrung tempo dulu dan sekarang terdapat pada penambahan saron,
kantil, calung, dan jegogan.
B.
Pemain
Pada awal dipentaskan, Tari Gandrung dimainkan oleh
penari pria. Tetapi pada perkembangan kemudian, Tari Gandrung dimainkan oleh
penari wanita. Perubahan yang terjadi sehubungan penggantian peran penari pria
dengan penari wanita dalam Tari Gandrung di Lombok, tidak bisa dipisahkan dari
peran I Gde Ketur. Beliau merupakan pemerhati Tari Gandrung di Lombok yang
berperan besar dalam mengubah tradisi Tari Gandrung yang semula dimainkan oleh
penari pria, kemudian diubah menjadi dimainkan oleh penari wanita (Sri
Yaningsih et.al., 1993/1994:16).
Menurut buku Tari Gandrung Lombok (1993/1994),
peran penari wanita sebagai pengganti penari pria di Banyuwangi telah dikenal
pada 1895. Di Lombok sendiri, penggantian peran penari pria dengan wanita bisa
dilihat ketika I Gde Ketur mulai mengubah tradisi tersebut. Minimal ada dua
pendapat tentang perubahan peran penari ini. Pertama, perubahan ini terjadi
kira-kira pada 1935. Alasan pengambilan tahun 1935 berdasarkan penuturan
seorang masyarakat dari Suku Sasak bernama Mamiq Rumita. Beliau menyatakan
bahwa ketika beliau berumur 10 tahun, Tari Gandrung di Lombok sudah ditarikan
oleh wanita. Mamiq Rumita merupakan seseorang
dari suku Sasak yang lahir pada 1925. Ketika beliau berumur 10 tahun, beliau
telah melihat bahwa Tari Gandrung telah ditarikan oleh penari wanita. Dari
penuturan ini, dapat diartikan bahwa kisaran waktu penggantian
penari pria ke wanita dalam Tari Gandrung diperkirakan terjadi pada 1935.
Kedua, dilihat dari mulai tampilnya Inaq Bilin sejak 1920 atau 1922. Inaq Bilin
merupakan penari Gandrung wanita yang merupakan keponakan dari Amaq Banun,
seorang penari Gandrung pria. Dilihat dari angka tahun ini, kemungkinan
perubahan penari pria ke penari wanita terjadi antara 1920-1935. Sehingga di
Lombok sendiri membutuhkan waktu sekitar 25-40 tahun untuk membuat sebuah
perubahan dari penari Gandrung pria ke penari wanita (Sri Yaningsih et.al.,
1993/1994:17 dan 22-23).
C. Pertunjukan Tari Gandrung
Pertunjukan Tari gandrung dilakukan oleh satu atau dua
orang wanita. Biasanya digelar pada malam hari yang bertepatan dengan pasca
panen padi (R. Diyah Larasati, 1996:16). Dalam setiap pertunjukan, para penari
Gandrung memakai busana atau pakaian khas penari. Busana penari Gandrung
terdiri dari beberapa unsur, yaitu:
- Gelung/Gegelung, yaitu hiasan penutup kepala yang seluruh
permukaan luar bagian belakang dihiasi dengan bunga Kamboja yang
diikatkan/disangkutkan pada permukaan gelung.
- Gempolan, hiasan di atas telinga yang terbuat dari
rangkaian bunga Kamboja.
- Bapang, yaitu
hiasan yang melingkar di sekitar leher, yang menutupi pundak, dada bagian
atas dan punggung bagian atas
- Stagen dan Seret, Stagen merupakan
kain yang melilit dipinggang yang berfungsi sebagai sabuk (ikat pinggang).
Sedang Seret adalah tali kecil yang terbuat dari kain
yang dililitkan di Stagenputih.
- Elaq-elaq, yaitu lidah-lidah yang tergantung pada Bapang sampai
ke perut, terbuat dari kain.
- Gonjer/Gegonjer, yaitu sejenis selendang warni-warni sebagai
hiasan pinggang.
- Ampok-ampok depan, yaitu hiasan pinggul bagian depan
- Ampok-ampok belakang, yaitu hiasan pinggul bagian belakang.
- Kain panjang
- Properti yang dibawa seorang penari Gandrung
adalah kipas (Sri Yaningsih et.al., 1993/1994:48-49).
Busana penari Gandrung
Keterangan:
- Gegelung
- Gempolan
- Bapang
- Stagen dan Seret
- Elaq-elaq
- Gonjer/Gegonjer
Seperti ditulis dalam Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan (1996),
R. Diyah Larasati dalam artikel berjudul “Gandrung di Lombok Barat: Ekspresi
Simbolis Komunitas Sasak”, menjelaskan bahwa sebelum digelar pertunjukan Tari
Gandrung, terlebih dahulu diadakan prosesi andang-andang, yaitu
berupa sesaji yang terdiri dari beras, uang logam (244 keping), benang satu
ikat, sirih pinang, serta sebutir kepala. Sesaji ini digunakan sebagai awalan
sebelum pertunjukan Tari Gandrung. Prosesi ini disebut dengan pemeras
pati. Upacara pemeras pati ditujukan untuk menghilangkan
gangguan selama pertunjukan. Pemeras patidilakukan dengan urutan sebagai berikut :
- Seorang pemimpin pertunjukan
bersama para pemain instrumen, tetua desa, pemilik tempat (halaman
rumah-rumah Sasak) membakar kemenyan.
- Asap kemenyan didekatkan dengan beras dan
peralatan lain (mengasapi).
- Mengusap mata gong dengan benang
sebanyak tiga kali.
- Memukul gong tiga kali dengan
selang pukul selama satu kali bernafas.
- Menebarkan beras bersama uang logam ke seluruh
peralatan.
- Memukul instrumen dengan bebas bersamaan dengan
jatuhnya uang dan beras (lindur) (R. Diyah Larasati, 1996:20-21).
Setelah prosesi pemeras pati selesai
dilakukan, maka pertunjukan Tari Gandrung siap untuk dimulai. Pertama kali
dimainkan Gending Kabor, kemudian disusul dengan Gending
Bapangan (Sri Yaningsih et.al., 1993/1994:31). Seperi dikutip dalam
artikel Khaerul Anwar yang berjudul “Semangat Seni Tradisi Bangkit di
Lombok”, Tari Gandrung terdiri dari tiga babak, yaitu babak Bapangan (memperkenalkan
diri), kemudian menari sambil menyanyi (besandaran atau bedede).
Selajutnya adalah babak Gandrungan,yaitu mengibas-ngibas kipas dan
menari mengitari arena. Pada saat tertentu, penari menyentuhkan kipas (tepekan)pada
penonton yang serta-merta maju ke arena untuk menari (mengibing) atau
disebut babak Parianom. Penonton diberikan waktu untuk mengibing sekitar
10 menit, dan sebelum meninggalkan arena ia harus menyerahkan uang
Pengibingan




Tidak ada komentar:
Posting Komentar